Wednesday, April 1, 2009

Perasaan atau logika ?


Saya nonton acara realigi di salah satu stasiun TV yg baru aja menangin Panasonic Awards paling banyak. Episodenya ttg seorang ayah yg tega jual anak perempuannya demi uang. Yg lapor ke tim Realigi adalah si istri, yg udah gak kuat melihat kekejaman suaminya menjual anak perempuannya ke siapa saja. Inti ceritanya, si istri berusaha menjauhkan si anak perempuan dari bapaknya supaya gak dijual ke laki2 hidung belang. Tapi selalu berhasil ditemukan lagi sama bapaknya. Sampai suatu hari, si bapak berhasil menjual anak perempuannya ke laki2. Tim realigi pun berhasil melacak keberadaan si anak dan si bapak, yg kebetulan si bapak lagi transaksi dgn laki2 itu di suatu hotel di puncak. Lalu terjadilah ribut2, saling maki antara suami istri, saling dorong dan pukul, pokoknya ricuh deh, sampai akhirnya si anak perempuan berhasil diselamatkan oleh tim realigi. Dan, gak tau gimana, si bapak meninggal (ini yg saya gak tau pasti karena apa) di rumah sakit dengan badan penuh darah. Si istri yg tadinya begitu bencinya pada suami, jadi menangis meraung-raung. Mungkin merasa kehilangan. Si anak pun ikutan menangis meraung-raung.

Suami saya berkomentar, "ih, tadi dimaki-maki. Sekarang udah meninggal kok malah ditangisin, bukannya si istri tadi benci banget sama suaminya. Emang sih perempuan kadang suka gak konsisten".

Saya pun menanggapi komentar suami, "itulah Yah, kasih sayang perempuan gak ada habisnya. Walaupun suaminya kejam kayak apa, tetep aja istrinya merasa kehilangan dan sedih"."Hilang deh semua benci, yg ada sekarang tinggal rasa sayangnya ke suami, jadi bukan perempuan itu gak konsisten". Saya pun jadi membela kaum saya.

Memang, kaum perempuan, seringnya memandang sesuatu lebih dulu dengan perasaan bukan dengan logika. Teman saya pernah bilang, jika mau jadi seorang wanita yg profesional, jauhkan perasaan, pakailah logika.

Kadang-kadang saya juga melihat sesuatu secara subjektif. Contohnya, saya lebih memilih rumah sakit tempat mama saya melahirkan yang tempatnya jauh, daripada rumah sakit terdekat yg fasilitasnya lebih bagus. Padahal kalo dipikir2 sekarang, RS yg saya pilih itu jauhnya 12Km dari tempat tinggal saya, jadi kalo diukur pake waktu perjalanan yg lancar (gak pake macet) kira2 1,5 jam.Kalo macet...? hehe..gak tau deh. Saya merasa saya secure di rumah sakit itu, karena mama saya melahirkan ketiga anaknya di RS itu. Subjektif gak sih...?

Tapi saya tidak memandang ke-subjektif-an saya itu sebagai suatu kelemahan. Malah kelebihan, karena cuma para wanita yg diberi fitrah itu.

2 comments:

  1. aku jg sempat tuhh nonton acara itu, emang kalo dipikir aneh kenapa juga si ibu bisa sehisteris itu menangisi kematian suaminya, padahal belum lama dia sendiri sudah berniat untuk meninggalkan rumah yang dianggap sudah tidak aman untuk dia dan anakknya, apa itu yang dibilang cinta dan kasih sayang seorang wanita bisa menjadi seluas samudra ? simpanan kata maaf yang tidak akan habis selalu tersimpan dihatinya ?

    ReplyDelete