Sudah beberapa hari ini, saya mengerjakan pekerjaan rumah sendirian. Biasanya ada asisten yang membantu membereskan rumah. "Surati sakit panas bu, belum bisa masuk kerja", begitu isi sms yang saya terima, mengabarkan ketidakhadirannya. Asisten saya itu masih sekolah, kelas 2 SMU tepatnya. Dia sendirian di Jakarta, bertekad meneruskan sekolah. Orang tuanya ada di Karang Anyar Solo, bekerja sebagai petani. Orangtua Surati tidak mampu menyekolahkan anaknya, sehingga Surati harus sekolah sambil bekerja di Jakarta.
Sakitnya Surati saya anggap sakit biasa, karena dia toh memang agak lemah fisiknya. Saya pernah membawanya ke rumah sakit, karena tiga hari tidak masuk kerja dan tidak sekolah. Dari diagnosa dokter saat itu, ternyata dia memang punya penyakit maag akut. Sakitnya kali ini pun saya anggap sakit maag yg sedang kambuh. Tapi di hari yang kedua dan ketiga, Surati tidak muncul juga. Saya berusaha mencari kabar ke HPnya dan HP kepala asramanya (Surati tinggal di asrama sekolah. Jadi setiap hari setelah pulang sekolah, dia bekerja di rumah saya sampai jam 3 atau 4 sore). Dari kepala asramanya, saya baru tahu kalau Surati dirawat di Rumah Sakit daerah Bintaro. Astaghfirullah, sakit apa Surati hingga harus di rawat inap? Kepala asramanya tidak tahu dengan pasti sakitnya Surati, karena Surati sulit dihubungi. Akhirnya, saya hanya bisa menunggu.
Setelah beberapa hari kemudian, Surati menelepon saya. Akhirnya... Dia pun menjelaskan kenapa tidak menelepon saya dan mengabari saya. Dia juga menjelaskan perihal sakitnya. Dari Surati, saya tahu bahwa sakitnya paru-paru basah yang sudah parah. Jantungnya pun didiagnosa terlalu lemah, sehingga tidak bisa bekerja yang berat-berat. Mungkin akibat pola hidupnya dan pola makannya selama ini tidak terkontrol dengan baik. Dalam hati saya berkata, Ah Surati... kasihan sekali kamu. Jauh dari orang tua, harus dapat cobaan seperti itu. Siapa yang akan mengurus kamu? Sambil mendengarkan penjelasan Surati, tak terasa air mata saya menetes.
Besoknya, Surati datang ke rumah. Mengembalikan kunci rumah sambil berpamitan tidak bisa bekerja lagi. Saya lalu bertanya, "gimana nanti bayar SPP nya Ra?"
"Untuk beberapa bulan ini, ada saudara yang bisa membiayai Bu. Setelahnya, saya belum tahu gimana lagi. Semoga ada rezeki". Ah, sedih rasanya mendengar jawaban yang tak pasti itu.
"Walaupun kamu gak kerja disini lagi, jangan sungkan main2 ke sini ya Ra. Semoga kamu berhasil di sekolah ya Ra. Kalau ada apa-apa kabari saya ya. Maafin saya kalau saya ada salah". Hanya itu yang bisa saya katakan, karena suara saya mulai serak dan mata saya mulai basah.
"Iya Bu. Saya terima kasih sama Ibu sudah bantu saya, jadi saya bisa meneruskan sekolah sampai sekarang ini. Saya juga maunya kerja aja disini, tapi saya gak enak kalo saya sering gak masuk karena sakit-sakitan. Saya minta maaf juga ya Bu kalau saya ada salah". Dia pun mencium tangan saya sambil menangis. Dan hari itu, Surati berhenti kerja.
Apa kabarnya Surati sekarang, saya tidak tahu. Dia tidak punya nomor HP yang bisa saya hubungi. Tapi terakhir saya dengar, dia sedang pulang kampung. Mungkin mencoba berobat alternatif, atau mungkin kangen dengan orangtuanya. Entahlah.
Ya Allah, semoga Kau tunjukkan kepadanya jalan yang lurus, Kau lapangkan rizki yang berkah baginya, Kau mudahkan segala urusannya. Amin...
Sakitnya Surati saya anggap sakit biasa, karena dia toh memang agak lemah fisiknya. Saya pernah membawanya ke rumah sakit, karena tiga hari tidak masuk kerja dan tidak sekolah. Dari diagnosa dokter saat itu, ternyata dia memang punya penyakit maag akut. Sakitnya kali ini pun saya anggap sakit maag yg sedang kambuh. Tapi di hari yang kedua dan ketiga, Surati tidak muncul juga. Saya berusaha mencari kabar ke HPnya dan HP kepala asramanya (Surati tinggal di asrama sekolah. Jadi setiap hari setelah pulang sekolah, dia bekerja di rumah saya sampai jam 3 atau 4 sore). Dari kepala asramanya, saya baru tahu kalau Surati dirawat di Rumah Sakit daerah Bintaro. Astaghfirullah, sakit apa Surati hingga harus di rawat inap? Kepala asramanya tidak tahu dengan pasti sakitnya Surati, karena Surati sulit dihubungi. Akhirnya, saya hanya bisa menunggu.
Setelah beberapa hari kemudian, Surati menelepon saya. Akhirnya... Dia pun menjelaskan kenapa tidak menelepon saya dan mengabari saya. Dia juga menjelaskan perihal sakitnya. Dari Surati, saya tahu bahwa sakitnya paru-paru basah yang sudah parah. Jantungnya pun didiagnosa terlalu lemah, sehingga tidak bisa bekerja yang berat-berat. Mungkin akibat pola hidupnya dan pola makannya selama ini tidak terkontrol dengan baik. Dalam hati saya berkata, Ah Surati... kasihan sekali kamu. Jauh dari orang tua, harus dapat cobaan seperti itu. Siapa yang akan mengurus kamu? Sambil mendengarkan penjelasan Surati, tak terasa air mata saya menetes.
Besoknya, Surati datang ke rumah. Mengembalikan kunci rumah sambil berpamitan tidak bisa bekerja lagi. Saya lalu bertanya, "gimana nanti bayar SPP nya Ra?"
"Untuk beberapa bulan ini, ada saudara yang bisa membiayai Bu. Setelahnya, saya belum tahu gimana lagi. Semoga ada rezeki". Ah, sedih rasanya mendengar jawaban yang tak pasti itu.
"Walaupun kamu gak kerja disini lagi, jangan sungkan main2 ke sini ya Ra. Semoga kamu berhasil di sekolah ya Ra. Kalau ada apa-apa kabari saya ya. Maafin saya kalau saya ada salah". Hanya itu yang bisa saya katakan, karena suara saya mulai serak dan mata saya mulai basah.
"Iya Bu. Saya terima kasih sama Ibu sudah bantu saya, jadi saya bisa meneruskan sekolah sampai sekarang ini. Saya juga maunya kerja aja disini, tapi saya gak enak kalo saya sering gak masuk karena sakit-sakitan. Saya minta maaf juga ya Bu kalau saya ada salah". Dia pun mencium tangan saya sambil menangis. Dan hari itu, Surati berhenti kerja.
Apa kabarnya Surati sekarang, saya tidak tahu. Dia tidak punya nomor HP yang bisa saya hubungi. Tapi terakhir saya dengar, dia sedang pulang kampung. Mungkin mencoba berobat alternatif, atau mungkin kangen dengan orangtuanya. Entahlah.
Ya Allah, semoga Kau tunjukkan kepadanya jalan yang lurus, Kau lapangkan rizki yang berkah baginya, Kau mudahkan segala urusannya. Amin...