Entah untuk ke berapa kalinya saya teringat ibu saya .Beliau sudah setahun berpulang ke Rahmatullah. Tepatnya 2 Juli 2011. Ibu adalah panggilan untuk ibu mertua saya. Setiap teringat beliau, saya selalu menangis, sama seperti kebanyakan anak-anak lain yang sudah kehilangan orang tuanya dan didera rasa rindu.
Saya kenal ibu baru 15 tahun. Delapan tahun saya menjadi anak menantunya. Tujuh tahun lagi saya kenal saat saya pacaran dengan anaknya. Sosok ibu yang saya kenal dari dulu sampai beliau gak ada, adalah seperti sosok ibu-ibu rumah tangga umumnya. Berdaster di rumah, bersolek saat pengajian dan kondangan, pandai memasak (masterchef buat saya, karena selalu jadi tempat bertanya) dan pandai bercocok tanam.
Ibu bukan lulusan sarjana, tapi bisa mencetak sarjana. Ibu bukan pekerja kantoran, tapi mampu melakukan pekerjaan yang multi tasking. Ibu bukan seorang ekonom, tapi mampu me-manage keuangan keluarga (dengan gaji suami seorang PNS dengan 6 orang anak). Ibu tidak suka membaca buku-buku filsuf, tapi setiap perkataannya mampu memberi kedamaian dan sangat bijaksana.
Ibu sudah lama mengidap hipertensi. Kata orang kalo sudah hipertensi berbahaya jika disandingkan dengan penyakit yang lain. Sebelum beliau meninggal memang sudah bolak-balik masuk RS dengan keluhan penyakit yang berbeda. Denyut jantung lemah, pembengkakan jantung, diare berkepanjangan, sampai disaat terakhirnya mendapat vonis sakit ginjal.
Ibu... seandainya Ibu ada di sini, ingin aku memeluk Ibu berlama-lama, ingin aku mencium pipi Ibu, ingin aku mendengar cerita-cerita Ibu di masa lalu.
Ibu... maaf sudah membuat Ibu kelelahan menjaga anak-anak setiap aku harus lembur. Maaf sudah membuat Ibu kerepotan mengajarkan aku bumbu-bumbu dapur. Maaf sudah membuat Ibu khawatir karena kami jarang menelepon Ibu. Maafkan kami yang belum bisa membahagiakan Ibu.
Ibu... terima kasih atas semua pelajaran hidup yang kami dapatkan. Kelak kita akan bertemu lagi, di surganya Allah. Insya Allah. Amin.